Denpasar – Warga Ukraina berinisial DG yang mengaku menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tak lagi bisa bebas keluyuran. Sebab, DG resmi ditahan pihak Imigrasi. Tidak lama lagi DG bakal dideportasi ke negaranya.
Yang menarik, DG diamankan petugas usai menghadiri sidang praperadilan mantan suaminya yang juga berasal dari Ukraina. “Diamankan Imigrasi setelah sidang dari PN Denpasar. Setelah sidang, DG didatangi petugas Imigrasi,” ujar sumber yang meminta namanya tak disebutkan.
Terkait alasan penangkapan, sumber menyebut DG sudah mangkir beberapa kali dari panggilan klarifikasi Imigrasi. DG diduga menyalahi peraturan perizinan di Indonesia. “Kalau tidak salah sudah tiga kali dipanggil, tapi tidak pernah datang,” imbuh sumber.
Sementara itu, sumber di Kantor Imigrasi Ngurah Rai membenarkan rencana pendeportasian DG. “(Sekarang) proses akan dideportasi,” ujar sumber.
Terkait keberadaan DG saat ini, menyebut sedang berada di ruang deteni. “Sedang menunggu tiket yang bersangkutan (untuk dideportasi ke negaranya),” tukasnya.
Di sisi lain, kuasa hukum AG (mantan suami DG), R. Reydi Nobel yang diwawancarai terpisah membenarkan saat ini sedang mengajukan gugatan atas penetapan tersangka kliennya.
Sidang praperadilan di PN Denpasar dipimpin hakim tunggal Ni Made Dewi Sukarni. “Kami gugat karena klien kami memang tidak pernah melakukan kekerasan. Kami miliki bukti itu,” ujar salah satu penggagas Perkumpulan Pemilik Izin Khusus Senjata Api Bela Diri (PERIKSHA) Bali itu.
Dijelaskan, kliennya tidak pernah melakukan kekerasan itu diperkuat dengan keterangan empat orang saksi yang ada di tempat kejadian. Keterangan para saksi itu semua tertuang dalam berita acara pemeriksaan yang dijadikan bukti di sidang praperadilan. “Tidak ada satupun saksi yang melihat adanya kekerasan fisik,” ujarnya.
Selain itu, antara AG dan DG keduanya adalah WNA yang pernikahannya tidak pernah diregister menurut hukum di Indonesia. Bahkan sebelum AG ditetapkan tersangka, keduanya sudah bercerai.
Menurut Reydi, penetapan AG dalam DPO juga bertentangan dengan hukum. Sebab, Polres Badung (termohon) menetapkan DPO pada 21 Agustus 2024, sedangkan pemohon telah mendaftarkan permohonan praperadilan pada Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 14
Agustus 2024.
Kemudian diketahui pemohon berpergian ke luar negeri dengan agenda perjalanan bisnis pada 16 Juli 2024, sehingga sebelum adanya penetapan tersangka terhadap pemohon, pemohon terlebih dahulu memiliki agenda perjalanan bisnis ke luar negeri.
Pemohon juga telah mengirimkan surat kepada termohon tertanggal 20 Juli 2024, yang menyatakan akan mengikuti semua proses hukum di Indonesia.
Kemudian pemohon melalui surat tertanggal 29 Juli 2024, pemohon menyatakan masih berada di luar negeri. Namun, sambung Reydi, termohon telah mengirimkan surat pencekalan terhadap pemohon kepada Kepala Divisi Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Bali.
“Sehingga dengan adanya surat pencekalan ini, pemohon tidak dapat datang untuk memenuhi panggilan termohon,” jelasnya.
Begitu juga dengan panggilan kedua, pemohon tidak bisa datang karena masih dicekal. Menurut Reydi, kliennya sudah menyatakan tidak melarikan diri.
Berdasar pertimbangan tersebut, Reydi memohon agar hakim praperadilan PN Denpasar menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya; dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya.
Terkait rencana deportasi DG, Reydi mengapresiasi kinerja Kanwil Hukum dan HAM Bali, dalam hal ini Kantor Imigrasi. Ia menilai petugas Imigrasi telah bergerak cepat dan tepat.
“Kami apresiasi kinerja Imigrasi. Kami mohon DG ditangkal masuk Indonesia khususnya Bali, sebagaimana WNA pelanggar perizinan lainnya. Tidak ada perlakuan khusus untuk DG,” ucap pendiri kantor RnB Law Firm itu. (Redaksibalitrending.com)